Pengabdian Kami Untuk Gereja

Minggu, 13 April 2008

Pustaka - Kom Keluarga - KK05 Pelindungan Anak

w

KATA PENGANTAR

Umat kristiani,bersama dengan siapa saja yang menjunjung tinggi rukun hidup itu, dengan tulus hati bergembira tentang pelbagai upaya, yang sekarang ini membantu orang-orang untuk makin mengembangkan rukun cinta kasih itu dan mengahayatinya secara nyata, dan menolong para suami istri serta orang tua dalam menjalankan tugas mereka yang luhur(GS 47).

Kelompok Kerja Bantuan Hukum (KKBH), sebagai anggota Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, terpanggil untuk menyampaikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan anak, yang berkembang dalam masyarakat, dan peraturan perundangan yang berhubungan dengan perlindungan anak pada umumnya dan dalam keluarga pada khususnya.

KKBH bergerak dalam bidang pelayanan advokasi pada umumnya dan advokasi anak pada khususnya. Karya KKBH dimulai sejak 1992, dengan berlandaskan semangat “swa-bela”. Artinya : dalam pendampingan advokasi, KKBH mengajak masyarakat yang mempunyai masalah hukum untuk bersama-sama KKBH menyelesaikan permasalahannya. KKBH tidak mengambil alih permasalahan yang ada, melainkan bersama-sama masyarakat berusaha menyelesaikan masalah, agar masyarakat semakin mampu melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri.

Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

KKBH

I. PENDAHULUAN

“Ada satu kata yang membebaskan kita dari beban hidup dan kepedihan, dan satu kata itu adalah Kasih”

Cinta dan kehidupan, itulah energi mendasar yang ingin kita raih dalam situasi seperti sekarang ini. Cinta bukanlah persoalan obyek, barang mati. Cinta adalah persoalan subyek, seorang pribadi. Sebuah semboyan berbunyi : “anak lahir untuk dicinta, bukan untuk dianiaya dan di sia-sia-kan”. Maka, orangtua diharap mengerti, bahwa anak adalah subyek, bukan obyek.

Sayang, kondisi riil masyarakat sekarang ini mudah sekali membelokkan kita dari semboyan di atas, membawa kita ke arah situasi ke-tidak-berdaya-an, atau bahkan ke arah tindak kekerasan terhadap anak-anak. Sepertri beberapa contoh berikut :.

Eka Suryana, bocah perempuan berusia 7 tahun,pada hari Senin pagi sekitar pukul 08.00, ditemukan sudah tak bernyawa. Mayatnya terkulai di atas kasur yang terhampar di lantai ruang tengah rumah bernomor 59, Blok A Perumahan Sengkang, sekitar 100 meter dari mushala tempatnya mengaji. Saat ditemukan, ada luka di bawah dagu kanannya. Dari hidung sampai leher terdapat bercak darah. Noda darah juga terlihat di celana anak itu. Dari penyelidikan polisi diketahui Eka meninggal akibat dicekik ibu tirinya, Idawati, malam sebelumnya. Sebelum dibunuh, korban diperkosa dan disodomi oleh Ambo Ase, paman tirinya.(Lihat: Kompas 8/1/2006)

Sementara itu, IbuWati, ditinggal suaminya. Ia harus menanggung hidup dengan ketiga anaknya. Karena putus asa, ibu Wati memaksa ketiga anaknya (11,8, dan 5 tahun) untuk mengakhiri hidup dengan minum racun serangga secara bersama-sama. Ia beranggapan bahwa dengan mengakhiri hidup mereka, maka berakhir pula tanggungjawabnya untuk mengasuh anak-anaknya

Akhirnya, Raju (8 Th) berkelahi dengan Armansyah (14 Th). Karena perkelahian itu, keduanya sama-sama cedera. Entah kenapa perkelahian itu terjadi. Armansyah menderita memar di bagian tulang rusuk. Keluarga Armansyah tidak bisa menrima kondisi anaknya tersebut dan melaporkan ke kepolisian. Kepolisian memproses, hingga dilanjutkan ke Kejaksaan, dan sampai tiba di persidangan. Karena dinilai berbelit-belit selama proses sidang, Rajupun ditahan di LP bersama orang dewasa selama 14 hari.

Anak adalah korban ketidak mampuan/ketidak berdayaan orang tua serta masyarakat pada umumnya dalam menghadapi masalah/situasi yang terjadi;padahal ditangan merekalah Negara dan bangsa ini akan diserahkan. Maka sungguh sangat di sayangkan apabila kita memperlakukan anak-anak secara sewenang-wenang.

Ada satu kisah yang dapat membuat kita tercengang, yang kiranya layak kita renungkan bersama :

Kemiskinan membawa bencana (Lihat: Basis, Mei-Juni 2003)

Drajat adalah seorang remaja 16 tahun, pandai di sekolahnya. Ia menduduki peringkat satu di kelas, meski tidak pernah mengikuti les privat. Keluarganya menghuni rumah kecil tipe 45 dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang tami yang kecil. Pendek kata rumah yang sederhana.

Ayah dan ibunya bekerja di pasar, berjualan bahan kebutuhan sehari-hari. Pagi jam 08.00 mereka berangkat ke pasar, dan baru pulang ke rumah pukul 21.00. “Ayah dan ibuku sehabis dari pasar kadang harus bekerja di rumah sampai larut malam mempersiapkan dagangan untuk hari berikutnya”, kata Drajat suatu hari. Dalam keseharian, Drajat dan Rita, adiknya, berada di rumah berdua. Karena sepanjang hari mereka berkumpul bersama, maka hubungan kakak adik ini menjadi begitu dekat. Rita berusia 11 tahun, gadis kelas V SD yang cantik dan pandai. Suaranyapun merdu dan beberapa kali menjadi juara menyanyi.

Suatu hari Drajat datang dengan penuh kesedihan. Matanya berkaca-kaca, beberapa saat terdiam dengan muka merah padam dan pandangan kosong. “Saya ingin mati”, sepatah kata keluar dari mulutnya.

Dengan penuh ketegangan dia bercerita tentang pengalaman hidupnya. Dia mengatakan bahwa sudah setahun ini dia sering melakukan hubungan sex dengan adik kandungnya. Hubungan sex itu dilakukan di rumahnya karena dia tidur dengan adiknyadi satu kamar, meskipun mereka mempunyai tempat tidur sendiri-sendiri. Penyebab utamanya : dia sering melihat kedua orangtuanya saat mereka sedang melakukan hubungan sex pada malam hari.

Suatu ketika, ketika Drajat sedang melakukan hubungan sex dengan adiknya, ayahnya memergoki mereka. Drajat dipukuli bapaknya. Syukurlah, sambil menangis ibunya minta kepada bapaknya agar Drajat tidak diusir dari rumah.

Setelah kejadian itu, suasana rumah menjadi tidak enak. Drajat dan Rita tidak dapat belajar, nilai raport mereka menjadi jelek. Suasana rumah jadi kacau. Ibu sering sakit dan ayah menjadi pemarah. Drajat pun mengeluh : “Sampai kapan saya harus mengalami suasana keluarga seperti ini? Sementara keinginan untuk tidur dengan adikku kadang muncul dalam diriku. Rasa ingin marah muncul kalau ada teman laki-laki adikku datang, entah untuk pinjam buku, atau untuk keperluan lain.

Menghadapi situasi demikian, gereja hadir membawa kabar gembira, yakni pemerdekaan keluarga dari belenggu dosa. Keluarga merupakan jalan yang pertama dan terpenting di antara banyak jalan, lewat mana gereja hadir. Dalam keluarga-lah seorang pribadi mulai hadir di dunia dan menghayati kerahiman Allah, melalui kedua orangtuanya. Dalam keluarga itu pulalah seorang pribadi mulai mengenal kejahatan, melalui keburukan-keburukan kedua orangtuanya. (Lihat: Surat kepada keluarga 1994, 8-9)

Keluarga adalah penyalur rahmat dan cinta Tuhan kepada manusia. Melalui keluarga-lah hidup diwariskan dari pribadi ke pribadi, melalui prokreasi, melalui kehamilan dan kelahiran. Selain itu, keluarga sel pembangun masyarakat, yang diharap mengembangkan keutamaan-keutamaan sosial, khususnya dalam diri para anggotanya, dan lebih khusus lagi dalam diri anak-anak. (Lihat: Familiaris Consortio 33)

Istilah “anak” mengandung makna yang beraneka ragam, misalnya anak dalam kandungan, anak di bawah lima tahun, anak usia pra-sekolah, anak usia sekolah, anak baru gede, anak remaja, anak nakal, dsb. Namun siapapun mereka, anak adalah bagian dari keluarga, yang berada di bawah tanggungjawab orangtua mereka.

Menurut gereja, tanggungjawab orangtua itu berakar dalam panggilan Allah atas diri mereka, untuk meneruskan karya penciptaanNya. Maka orangtua punya hak dan kewajiban untuk mendidik anak. Hak dan kewajiban itu tidak tergantikan dan tidak bisa diambil alih. Orangtua dipanggil untuk mendidik anak, dengan kebenaran dan kasih sebagai norma utamanya. (Lihat: Familiaris Consortio 60-61)

II. ANAK-ANAK YANG MEMPRIHATINKAN

Pada tahun 2000 Unicef (United Nations Children’s Fund) memberikan laporan berikut (seperti dimuat dalam “Konvensi Hak Anak”, Lembaga Studi & Pembangunan, 2000, hal 6) :

No

Anak di Negara berkembang

jumlah

1

Tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar

130 juta

2

Bekerja di lingkungan yang berbahaya dan ter-eksploitasi

250 juta

3

Hidup dalam situasi genting dan berbahaya

250 juta

Secara lebih rinci Vivit Muntarbhorn (seperti dimuat dalam “Konvensi Hak Anak”, Lembaga Studi & Pembangunan, 2000, hal 6) mengidentifikasi kelompok-kelompok anak yang memprihatinkan sebagai berikut :

Anak-anak pedesaan : Sebanyak 70 % penduduk dunia, termasuk anak-anak, tinggal di pedesaan. Mereka seringkali tidak memiliki akses yang cukup terhadap pelayanan, sumber daya dan infrastruktur yang bisa membantu mengembangkan potensi mereka.

Anak-anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan : Sebagian anak tinggal di jalan dan lingkungan yang kumuh, yang memudahkan terjadinya berbagai konflik. Perjudian, penyalahgunanaan obat dan kekerasan mudah terjadi. Anak-anak dibiarkan menjadi pedagang asongan atau berkeliaran di jalan, sehingga kesehatan fisik ,mental,serta moral berada di bawah kewajaran.

Anak perempuan : Kendati kesadaran terhadap kesetaraan jender semakin meningkat, tetap ada ketidakadilan terhadap anak-anak perempuan. Dalam hukum, diskriminasi di sebagian besar dunia telah dihapus. Tetapi dalam praktek, diskriminasi berdasarkan jender tetap ada. Salah satu buktinya adalah kenyataan bahwa tingkat buta huruf pada kaum perempuan lebih tinggi daripada pada kaum pria.

Pekerja anak : Konvensi Hak Anak menyebut tindakan “mem-pekerja-kan anak” dengan istilah “eksploitasi ekonomi terhadap anak”. Anak-anak dilihat sebagai korban. Sebab mereka belum memiliki kapasitas dan kesadaran penuh untuk memilih bekerja. Selain itu mereka juga belum dapat memahami risiko-risiko dari pekerjaan mereka. Mereka belum memahami konsekwensi dari perjanjian kerja yang mereka buat. Meskipun eksploitasi ekonomi terhadap anak telah dilarang, hal itu toh masih sering terjadi. Agen-agen tenaga kerja dan jaringannya menjadi penyalur yang mengirim anak-anak dari pedesaan ke pabrik-pabrik di kota. Pencegahan terhadap praktek-praktek semacam itu sulit dilakukan, karena lemahnya sistem penegakan hukum dan terbatasnya pengawasan pemerintah. Masih sedikitlah strategi yang di-desain pemerintah untuk mencegah kelompok-kelompok swasta melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak.

Pelacuran anak : Sungguh pantas disayangkan bahwa ada orangtua yang menjual anak perempuan mereka dan ada agen-agen yang memperjualbelikan gadis-gadis belia. Tindakan itu sering tidak tampak, karena terjadi dalam skala kecil. Apalagi hukum yang melarang pelacuran anak tidak dijalankan secara efektif. Bahkan seringkali terjadi kolusi antara berbagai pihak, yang mengatur perdagangan anak .

Anak-anak cacat : Banyak anak cacat tersingkir dari kehidupan masyarakat, karena mereka kurang punya akses terhadap pelayanan kebutuhan dasar. Jumlah anak cacat yang diterima di sekolah umum lebih rendah daripada jumlah anak normal, sementara sekolah umum juga kekurangan fasilitas khusus bagi anak cacat.

Anak-anak pengungsi dan tidak berkewarganegaraan : Jutaan anak pengungsi di seluruh dunia dihadapkan pada segala bentuk diskriminasi dan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Mereka dianggap imigran gelap, sehingga nasib mereka bergantung pada belas kasihan orang-orang, yang memperlakukan mereka lebih sebagai orang-orang dewasa daripada sebagai anak-anak, yang memiliki kebutuhan khusus.

Anak-anak dalam penjara : Meskipun PBB telah menetapkan berbagai standard administrasi seperti “The Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners”, termasuk perlindungan khusus bagi anak-anak, penerapannya toh belum memuaskan. Penyiksaan, pemukulan dan hukuman lain masih diberlakukan kepada anak-anak. Kasus Raju hanyalah sebuah „fenomena gunung es“. Artinya : bagian kelihatan dari suatu kenyataan yang sebenarnya jauh lebih besar!

Anak-anak korban kekerasan dan terlantar : Daftar anak korban kekerasan, terlantar dan ter-infeksi AIDS tak pernah berakhir. Selain menjadi korban kekerasan di rumah, mereka kadang-kadang juga menjadi korban kekerasan sosial yang merusak mental dan fisik. Kendati tak ada data statistik yang akurat tentang jumlah anak korban kekerasan, tindak kekerasan yang sudah diketahui sebenarnya sudah cukup untuk ditindaklanjuti, dengan serangkaian tindakan yang komprehensif.

Selain kelompok-kelompok di atas, masih ada beberapa kelompok lain yang juga memprihatinkan, seperti : anak yang butuh orangtua pengganti, anak dari kelompok minoritas, anak korban “broken home“, dan sebagainya.

III. UNDANG-UNDANG RI YANG MERUGIKAN ANAK

A. Undang-Undang No 3/ Th 1997 Tentang Peradilan Anak

Pasal 1 (1) menyatakan bahwa anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Dengan ketentuan itu, anak nakal yang berumur 16 tahun dan pernah kawin akan kehilangan haknya untuk diadili sebagai anak. Sementara itu, pasal 4 (1) menyatakan bahwa seseorang mulai bertanggungjawab atas tindak kriminalnya sejak berusia 8 tahun, padahal “United Nations Standard Minimum Rules for the Administration Juvenille Justice 1985” (Beijing Rules) menyatakan : sejak berumur12 tahun. Ketentuan di negara kita itu jelas merugikan pihak anak.

B. Undang-Undang No 13/ Th 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 69 menetapkan bahwa batas minimal usia kerja adalah 13 tahun. Padahal Konvensi ILO Nomor 138 menetapkan bahwa batas minimal usia kerja adalah 15 tahun. (lihat Arief Gosita, op.cit., hal 96-99)

C. Undang-Undang No 1/ Th 1974 tentang Perkawinan

Ketentuan Undang-Undang ini tentang batas usia minimal untuk menikah antara laki-laki dan perempuan tidaklah sejalan dengan prinsip non diskriminasi. Usia minimal pria dan wanita untuk bisa menikah, dibedakan. (lihat Arief Gosita, op.cit., hal 96-99)

Pada pasal 37 dan 41, Undang-Undang ini mengatur pembagian harta gono-gini. Namun, dalam praktek pengadilan, penyelesaian dari perselisihan ini tidak ditindaklanjuti dengan upaya paksa agar salah satu pihak segera melaksanakan putusan, misalnya, membagi harta bersama dengan adil, dan memberi nafkah kepada anak-anak. Biasanya penyelesaiannyapun memakan waktu yang berlarut-larut.

Pada pasal 3, Undang-Undang ini mengijinkan pria mempunyai beberapa istri. Dalam praktek, banyaklah kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi.

Pada pasal 43, Undang-Undang ini menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya”. Padahal, setiap anak adalah anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari apakah ia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. Adalah hak anak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kedua orang tuanya.

D. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pada bab XIV pasal 287(1) tentang kejahatan kesusilaan, KUHP menyatakan bahwa tindakan menyetubuhi anak berumur sampai 15 tahun merupakan delik aduan. Artinya, pelaku kejahatan baru bisa dituntut setelah ada pengaduan. Seharusnya delik ini bukan delik aduan, tetapi merupakan delik biasa, sehingga apabila tindakan menyetubuhi di lihat orang dapat langsung pelaku ditindak.

IV. HUKUM INTERNASIONAL TENTANG ANAK

Hukum internasional yang mengatur perlindungan anak adalah Konvensi Hak Anak. Konvensi ini lahir dari suatu kesadaran bahwa, sesuai kodratnya, anak adalah rentan, tergantung, lugu, dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. Munculnya Konvensi Hak Anak didorong oleh perubahan yang terjadi di dunia pada abad ke 19, ketika anak masih dipandang sebagai „hak milik“ orangtua. Sampai awal abad ke 20, kehidupan dan nasib anak-anak belum dipedulikan oleh masyarakat dunia. Anak masih dipandang sebagai urusan keluarga, komunitas lokal, atau negara. Syukurlah, pada tahun 1920, seorang aktivis perempuan Inggris Eglantyne Jebb mendirikan “Save the Children Internasional Union“ dan berhasil menyusun Deklarasi Hak Anak. Pada tahun 1959, Deklarasi itu disempurnakan menjadi Deklarasi Jenewa. Kemudian, Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyusun Rancangan Konvensi Hak Anak, yang disetujui pada tahun 1989, dan mulai berlaku tahun1990. Pada tahun 1990, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak Internasional. Sejak itu, pemerintah Indonesia wajib memenuhi hak-hak semua anak Indonesia. Secara garis besar isi Konvensi Hak Anak itu dibagi menjadi 8 kelompok, antara lain hal-hal penting berikut :

A. Definisi Tentang Anak

Pada pasal 1, Konvensi Hak Anak menegaskan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali bila Undang-Undang yang berlaku bagi anak menetapkan batas awal usia dewasa yang lebih cepat.

B. Prinsip-Prinsip Umum

1. Non-diskriminatif :

Pasal 2(1) menegaskan bahwa “negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak setiap anak … tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa, suku bangsa atau status sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain …” Ketentuan ini jelas-jelas menegaskan prinsip non-diskriminatif, yang menjamin kesamaan hak bagi semua anak di dunia, yang berbeda-beda latar belakangnya.

2. Yang terbaik bagi anak (the best interest of the child) :

Pasal 3(1) menegaskan bahwa “dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah/swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.(Bandingkan dengan kasus Raju! )

3. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak :

Pasal 6 (1) menegaskan bahwa “negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak atas kehidupan”. Sedang pasal 6 (2) menegaskan bahwa “negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (istilahnya : the survival and the development of the child)”.

4. Menghargai pandangan anak :

Pasal 12(1) menetapkan bahwa “negara-negara peserta akan menjamin bahwa anak-anak

yang memiliki pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan

mereka secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut

akan dihargai sesuai dengan usia dan kematangan anak”

C. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif

Pasal-pasal yang terkait adalah pasal 5, 18 (1-2), 9-11, 19-21, 25,27 (4), dan 39. Pasal-pasal ini menyangkut tanggungjawab orangtua, bimbingan orangtua, hak anak yang terpisah dari orangtuanya, hak anak untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, pengambilalihan anak secara illegal dan anak yang terdampar di luar negeri, pemulihan pemeliharaan anak, anak yang terenggut dari lingkungan keluarganya, adopsi, peninjauan berkala atas penempatan anak, dan kekerasan serta penelantaran anak dalam keluarga.

D. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar

Pasal 24 (1) menetapkan bahwa „negara-negara peserta mengakui hak-hak anak untuk menikmati status tertinggi yang dapat dicapai dan memperoleh sarana-sarana perawatan penyakit dan pemulihan kesehatan”.

Pasal 26 (1) menetapkan bahwa “negara-negara peserta mengakui hak setiap anak untuk memperoleh manfaat jaminan sosial, termasuk asuransi sosial…”

E. Pendidikan, Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya

Pasal 29 (1) menetapkan bahwa negara peserta akan mengarahkan „pendidikan anak pada pengembangan kepribadian anak, bakat dan kemampuan mental, fisik hingga mencapai potensi mereka yang paling penuh”.

Pasal 31 (1) menetapkan bahwa “negara peserta mengakui hak anak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam kegiatan rekreatif yang sesuai dengan usia anak bersangkutan dan turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya dan seni “

F. Langkah-Langkah Perlindungan Khusus

Langkah perlindungan khusus ditujukan kepada kelompok anak berikut :

a. Anak yang berada dalam keadaan darurat :

§ Pengungsi anak

§ Anak yang berada dalam konflik bersenjata

b. Anak yang mengalami konflik hukum

§ Administrasi pengadilan anak

§ Perenggutan kebebasan anak

§ Penjatuhan hukum terhadap anak

§ Pemulihan kondisi fisik dan psiko-sosial anak.

V. HUKUM NASIONAL YANG MELINDUNGI ANAK

A. Undang-Undang No 23/ Th 2002 ttg Perlindungan Anak

Undang-undang ini dibuat sebagai konsekuensi atas diratifikasinya Konvensi Hak Anak. Yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah perlindungan anak dari segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar ia dapat hidup, berkembang dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan ini wajib dilakukan oleh semua pihak terutama orangtua. Ketentuan-ketentuan berikut kiranya perlu diperhatikan.

1. Asas perlindungan anak : (Lihat pasal 2)

· Non diskriminatif : Semua anak harus mendapat perlindungan yang sama.

· Kepentingan yang terbaik untuk anak.

· Anak punya hak asasi atas hidup, kelangsungan hidup, perkembangan hidup.

· Penghargaan terhadap pendapat anak : penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan, terutama menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

2. Tujuan Perlindungan anak : (lihat pasal 3)

Perlindungan anak “bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera“.

3. Hak dan Kewajiban Anak :

· Hak untuk hidup,tumbuh kembang dan berpartisipasi (ps 4)

· Hak atas identitas dan kewarganegaraan (ps 5)

· Hak beribadah sesuai agamanya, berpikir & berekspresi sesuai kecerdasannya dan usianya (ps 6, 42 & 43); (Hak atas asal usul anak (ps 7)

· Hak atas adopsi (ps 7 ayat 2)

· Hak atas pelayanan kesehatan dan jaminan okum (ps 8, 44,45,46,47,55,56)

· Hak atas pendidikan & pengembangan kepribadian termasuk anak cacat (ps 9,48,49,50,51,51,52,53,54)

Tidak ada komentar: